Andai saja engkau percaya padaku

Sulit benar membangun kepercayaan, walau untuk hal-hal yang sederhana sekalipun.
Ini kisahku dalam perjalanan tempo hari. Soal lampu rem misalnya. Jika ia menyala, pasti ada ada hambatan di depan. Maka sudah sepantasnya, si belakang mengikuti si depan karena depanlah yang tengah menjadi imam, melihat dengan mata kepala sendiri apa yang terjadi di depannya.

Tapi karena tidak dipercayai, maka otoritas ini sering dianggap sepi. Saat itu, akulah yang mestinya paling berhak untuk mengerti bahwa di depan ada becak yang sarat muatan hendak menyeberang. Biarlah ia lewat. Kalau ia harus berhenti dan
menggejot dari awal lagi, tentu merepotkan.


Tapi keputusanku ini ternyata membuat mobil di belakang itu tidak senang. Baru
saja aku menginjak rem, klaksonnya sudah menyalak galak bertubi-tubi. Tapi
keputusan telah ditetapkan, dan abang becak telah mengambil jalan. Si mobil
belakang ini juga telah membulatkan hati, dia memilih menyalipku daripada ikut
berhenti. Maka yang terjadi terjadilah.

Ia begitu terkejut, hampir mati ketika becak itu muncul begitu saja di moncong
mobilnya. Ia menginjak rem hingga berdecit. Tabrakan keras memang tidak terjadi
tapi sekedar ciuman bumper pun telah membuat sang becak terguling. Muatan
sayuran yang menggunung berhamburan memenuhi jalan. Kecelakaan itu tidak
mengerikan,tetapi sayuran yang bertebaran benar-benar telah menjadi provokasi
tersendiri.

Jalanan macet seketika. Si penyalip mobilku pucat pasi. Ia seorang pria, tampak
terpelajar; tapi saat itu ia berubah menjadi orang yang kelihatan bodoh. Posisi
mobilnya secara mencolok memperlihatkan bahwa dialah biang keladi kemacetan ini.
Semua pihak kini menudingnya. Dan abang becak yang terkapar itu, entah belajar
teori drama dari mana, mulai membangun sensasi. Ia membiarkan saja becaknya
terjungkal. Ia sendiri dengan ketenangan seorang jagoan, memilih bangkit dan
berjalan menghampiri si pria pengemudi dan langsung meninjunya.

Cerita selanjutnya bukan urusanku lagi. Tapi tak sulit merekonstruksi akhir insiden ini. Betapa tidak enak membayangkan perasaan pengemudi mobil tadi. Seorang yang tampak terpelajar, bertampang bersih, tapi cuma jadi bahan olok-olok lingkungan dan dipukuli seperti kriminal. Padahal, jika saja ia mau sedikit bersabar, dan terpenting, mau mempercayaiku untuk ikut berhenti, musibah ini mungkin tidak akan terjadi.

Seperti itulah keadaan di negeriku, orang lain tak pernah dibiarkan menjadi imam, walau ia memang tengah memegang otoritas yang sesungguhnya. Selalu saja
ada intervensi.

Inilah mengapa kita selalu cenderung membunyikan klakson di saat kita dalam
kemacetan. Mengapa dalam hal antri, leher kita cenderung terjulur demikian
panjang untuk selalu gatal melihat keadaan di depan.

Kita selalu ingin tergesa-gesa, tidak punya kesabaran sedikitpun. Padahal di
depan itu sering tidak terjadi apa-apa. Kemacetan itu masih baik- baik saja.
Sekeras apapun klakson yang kita bunyikan, tidak akan mengubah situasi jika
saatnya belum tiba. Pada gilirannya, antrian pun pasti akan bergerak maju dengan
caranya sendiri. Jika semuanya masih terhenti, pasti karena masih ada persoalan.
Biarlah itu persoalan yang di depan. Kita di belakang, tinggal mempercayainya.

Berat memang, tapi inilah ongkos hidup bersama. Harus ada semacam tebusan
sebagai ongkos kepercayaan. Ketidaksabaran membayar ongkos inilah yang
membuat hidup bermasyarakat sering dilanda kekacauan. Para imam, pemimpin, dan
pihak yang di depan itu, memang bisa saja menyelewengkan kepercayaan. Kita
boleh kecewa tapi tak perlu mendendam. Karena untuk hidup bersama, manusia
memang perlu saling mempercayai. Soal bahwa sesekali kita tertipu, tidak usah
diherankan pula. Siapa yang sama sekali bisa membebaskan diri dari nasib sial
Rasanya tak ada.

Maka andai saja saat itu engkau percaya padaku, engkau pasti tidak dipermalukan
sedemikian rupa.

[dari kiriman kisah seorang teman, RS-terimakasih!]

submitted by : Eko Akhmad

Bookmark and Share

0 komentar:

Posting Komentar